Jumat, 30 November 2012

Sebuah Cerita


Entah kapan ini kutulis, yang jelas aku sudah menyelesaikannya hingga bab.4. Kalau ada yang mampir, tolong bantu aku untuk memberinya judul ya..(sebenarnya aku juga tak tahu mau memberi judul apa-yang jelas di aslinya aku memberinya judul noveljadipunbelumjudljugagakada), mohon komentarnya karena aku hanya sekedar memposting tulisan yang kutemukan di folder lamaku. Semoga bermanfaat...enjoy read it :)

 ONE

Aku hanyalah manusia biasa,yang tak mempunyai daya apa-apa untuk mengubah apa yang telah tersurat di kehidupan nyata. Aku hanya dapat bertanya mengapa dan menjalani bagaimana. Aku menghela napas panjang. Sudah hampir setahun tapi aku tak menemukan kepastian dari semua yang telah kulakukan dan aku hampir letih karenanya.
Mungkin semua ini tak akan menjadi seperti ini jika aku tak pernah menyetujui kepindahan kami ke Yogja. Aku harus beradaptasi ulang dengan lingkungan yang benar-benar berbeda dan terutama aku harus menghadapi ujian pertama masuk sekolah baru. Aku menghela napas panjang dan melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang sekolah. Seragam putih abu-abu seolah membanjiri gedung tua itu dengan celotehan mereka yang beberapa tak kutahu maksudnya. Sudah hampir setahun lalu,sejak aku memasuki gerbang itu dengan canggung. Semua orang menatapku ingin tahu seolah aku makhluk dari planet lain dan aku harus dengan sabar menjawab pertanyaan sama yang selalu diucapkan mereka saat bertemu denganku selama seminggu pertama aku sekolah,”Kamu anak baru ya…?”,”Darimana?”,”Rumahmu dimana?” dan aku tersenyum saat ini jika mengingatnya.
Tapi itu semua setahu lalu. Dan kini ketika aku sudah menjadi bagian dari mereka aku mulai merasakan kehadiranku tak spesial lagi. Bukan karena aku menginginkan sebuah ketenaran sama seperti yang sering digembor-gemborkan Sinta di kelas bersama semua anggota gengnya. Hanya saja aku merasa kesepian yang dulunya datang saat awal-awal aku di Yogja kembali terulang. Teman-temanku memang banyak dan sangat baik padaku, tapi entah kenapa aku masih saja sering merasa ada sesuatu yang kurang dan seolah ada lubang dalam hatiku ini yang terus-menerus terbuka. Aku kembali menghela napas, mengingat hal itu aku merasa sangat merana dan aku tak mau itu terjadi hari ini.
“ Hay…guys,kau sudah siap?! ”,Andira Sang Pemimpin Redaksi menyapaku di loker.
Aku hanya tersenyum padanya. Test hari ini adalah test persiapan Ujian Nasional yang terakhir dan aku harus mempertahankan predikat ‘lulus’ test persiapan yang lalu. Aku membuka loker dan mengeluarkan beberapa catatan, sementara Andira sudah menutup lokernya.
“ Kau tahu,liputan simulasi ujian kali ini aku yang buat, jadi kemungkinan ada banyak hal yang akan menyudutkan Faris”,jelas Andira.
“ Yeah…”,aku mengangguk,” Kau selalu  sajakan begitu….membuat berita yang kontroversial…”,tambahku,yang disambut tawa Andira.
“Jadi kau yakin lulus kali ini?”
Aku hanya mengangguk, meski tidak seratus persen tapi setidaknya ada sedikit optimis dalam diriku. Sementara bagi Andira,tak perlu kutanyakan pertanyaan yang sama, karena baginya Ujian Nasional hanyalah ujian biasa sama seperti ulangan harian.
Di depan ruangan yang akan kami tempati berjejer teman-temanku yang lain dengan buku catatan masing-masing. Beberapa anak menyapaku ketika aku melewati mereka untuk mencari tempat duduk, sementara kebanyakan dari mereka yang lain seolah tak mampu lepas lagi dari hafalan buku di tangan mereka. Aku melewati Dita dan Siska yang justru asyik mengobrol dan sengaja memilih tempat duduk yang  jauh dari keramaian, sementara Andira yang sejak tadi menguntit di belakangku  duduk di sampingku memasukkan buku catatannya ke dalam tas, mengambil kamera dan mulai asyik memfoto suasana disekitarnya.
Aku membuka buku catatanku dan mulai membaca beberapa bab yang ku anggap nanti akan keluar. Hafalanku sudah sangat banyak tadi malam dan tak mungkin aku harus menghafalkan materi lagi. Jadi akau hanya membuka buku dan membacanya sekilas kemudian menatap teman-temanku yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing,terutama Andira yang terlalu mencolok dengan kameranya. Sedang asyik-asyiknya memperhatikan tiba-tiba ada yang mencuri perhatianku lebih.
Ia di sana, di depan ruangan lain. Baru saja berangkat dan sedang mengobrol dengan temannya. Aku mengamati dari jauh. Nampaknya ia sedang senang dan entah kenapa aku jadi tersenyum sendiri. Andira yang memang bermata tajam sepertinya tahu apa yang sedang kulakukan. Dengan sangat tidak sopannya  ia mengagetkanku dengan jepretan kameranya sambil tertawa,” Say chiiiisss…!!!”
Aku geragapan,” Ikh apaan sih An??!!”,wajahku dongkol.
Andira masih saja tertawa dan mencoba memperrmainkanku,sementara aku mulai sebal dengan sikapnya yang merusak kesenanganku. Belum juga ia selesai tertawa, tiba-tiba bel telah berbunyi dan ia sudah lenyap dari tempatnya berdiri tadi. Aku mendengus kesal dan segera masuk dengan hati dongkol. Mulai hari itu aku tahu ada yang berbeda dariku.
Soal telah dibagikan dan semua telah siap dengan jurus masing-masing,tinggal menunggu bel dan semua akan mengetahui hasilnya seminggu lagi. Aku menghela napas panjang dan mengulang doaku tiga kali, meski beberapa menit tadi sempat dongkol, untuk urusan yang satu ini aku harus fokus. Aku melirik jam dinding di depan 2 menit lagi. Aku mulai tak sabar, kulirik teman-teman seperjuanganku yang sepertinya juga merasakan ketidak sabaran sama sepertiku. Andira duduk di bangku deretan depan sementara aku jauh agak ketengah. Bangku di belakangku diisi Lucky-cowok berkacamata yang dikenal ahli basket, sementara di depanku Kurnia-sang penyanyi dangdut. Melihat teman-temanku aku jadi merasa iri, mereka punya kelebihan yang aku tak punya dan bagi mereka ujian ini seolah tak ada artinya sama seperti Andira, sementara aku-bukan-siapa-siapa-hanya seorang gadis yang hobi menulis. Aku menunduk segera membuka soal ketika akhirnya bel berbunyi.
Ujian simulasi ini telah disesuaikan jadwalnya dengan ujian nasional, begitu pula aturan-aturannya, hari pertama ini adalah ujian Bahasa Indonesia dan Matematika. Aku membaca dengan cepat soal-soal yang tertulis di sana, mengerjakan apa yang aku anggap bisa terlebih dahulu dan berusaha berpikir dengan cepat. Tak ada yang aku pikirkan saat ini kecuali ujian nasional, soal-soal yang harus ku selesaikan dan kelulusan,
1 jam berlalu. Aku berhenti sejenak di no.56,membaca ulang soal dan memutar otak lebih keras lagi. Ada yang membuatku bingung dari soal majas tersebut, tapi akhirnya metafora masuk dalam daftar jawabanku. Aku beralih ke nomor lain dan kembali memutar otak lebih keras.
Akhirnya ketika waktu tinggal 10 menit, hampir semua soal telah aku jawab. Aku meregangkan otot-otot badanku sebentar,kemudian kembali menyelesaikan kewajibanku. Dan bel berbunyi tanda waktu tinggal 5 menit lagi. Aku segera menyelesaikan 1 nomor yang masih kosong, kemudian 3 menit terakhir kugunakan untuk meneliti jawaban.
“ Baiklah,waktu habis. Silahkan letakkan jawaban dalam keadaan terbalik dan soal boleh dibawa pulang “,sang guru penjaga memberitahu kami dan saat bel terakhir berbunyi 2 kali,dengung puluhan siswa membludak.
Aku segera keluar dari ruangan itu,mengambil tas kemudian menuju loker. Andira yang sudah keluar lebih dulu,sengaja menungguku untuk pulang bareng, tentu saja dengan berbagai pertanyaan yang sudah kutebak sebelumnya. Seperti kebiasaannya setiap selesai ujian ataupun ulangan, Andira dengan bangganya akan menanyaiku berbagai macam pertanyaan yang berkaitan dengan ujian tadi. Seperti kali ini, ketika akhirnya aku menutup loker ia mulai membombardirku dengan berbagai pertanyaan, “ Gimana tadi??”
“ Apanya??”, aku pura-pura bingung.
“ Yah, kau ini Sya…jelas aja ujiannya lah,emang apalagi?!”
“ Oh,ya…gitu deh”,jawabku asal. Aku terbiasa dengan pertanyaan Andira itu dan tak ada salahnya sekali-kali membuatnya kesal. Mendengar jawabanku itu ia mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya ke depan. Aku tertawa dan akhirnya mengalah. Mengerjai teman apa salahnya??!
Ting –tong
Aku bergegas, mengambil tas dan melenggang pergi. Andira berdiri di depan rumahku memakai jaket biru dan jeansnya. Membawa tas sepertiku, tapi isinya pasti bukan hanya buku melainkan ada kamera dan buku catatan kecil yang selalu dibawanya saat melakukan wawancara.
Sebenarnya aku ingin menolak ajakannya untuk melakukan wawancara masyarakat sekitar tentang Ujian Nasional, mengingat besok masih ada simulasi ujian. Tapi ketika ada tawaran mengasyikkan yang sengaja diberikan Andira agar aku mau menemaninya, akhirnya aku luluh juga.
“ Kau mau mulai darimana?”, tanyaku.
Heran melihatku yang bersemangat, Andira menatapku sekilas, mungkin memastikan apakah benar aku atau bukan, kemudian mengeluarkan semacam buku catatan kecil yang aku tahu itu buku wawancaranya, membacanya sebentar lalu mengangguk.
“ Dari kompleks dekat sekolah kurasa,ayo..”
Dan di sinilah kami 20 menit kemudian, kompleks sekolahku yang tak pernah sepi.  Lapangan dipenuhi oleh tonti dan marching band, sementara aula diisi oleh klub olahraga. Dulu waktu kelas 2 aku sering sekali berpanas-panasan di lapangan masuk dalam section pitch dan melakukan display. Rasanya menyenangkan sekali waktu itu. Aku memandang ke arah lapangan, adk-adik kelasku sedang melakukan display yang dulu pernah kulakukan saat lomba nasional. Aku tersenyum sendiri. Meski hanya setahun merasakan hal itu, tapi mengingat masalalu kadang membuat berpikir ‘kenapa sudah kelas 3’. Namun mengingat masalalu tak jarang pula membuatku ingin cepat-cepat lulus dari sekolah ini. Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan pada Andira yang sejak tadi asyik mewawancarai seorang penjual pulsa di depan sekolahku.
Kadang aku ingin tertawa sendiri melihat tekhnik  wawancara Andira. Meski tak sering tapi 3 kali dengan hari ini cukup membuatku tahu gaya wawancara Andira yang menurutku terkesan lucu. Dari awal tadi wawancara dimulai hingga 20 menit berlalu pertanyaan yang berkaitan dengan topik baru sekali ia singgung, lainnya ia justru bertanaya tentang personal ID sang narasumber.
“Ini mau wawancara atau kenalan sih..??!!”, batinku.
Setelah 30 menit berlalu akhirnya ia menyelesaikan wawancaranya, itupun karena aku memberinya isyarat injakan kaki. Sang mas narasumber-yang aku lupa siapa namanya-melambai pada kami saat akhinya kami keluar dari counternya yang sempit. Aku tak ingin berkomentar apa-apa sementara Andira sibuk mengecek list wawancaranya.
“Mas penjual pulsa, Pak Rudiyam,Bu kantin atas,Bu kantin bawah…”,ia terus saja mengoceh sampai kami melewati gerbang sekolah dan aku bisa melihat dengan sangat jelas ia di sana.
Mungkin kalau aku tak ingat sedang bersama si-pencari-berita mungkin aku sudah ke sana,pura-pura mencari sesuatu yang tertinggal dan akhirnya aku akan duduk di sana, mengobrol dengannya.
‘BODOH!!!’,jerit batinku. Aku menepuk pipiku tanpa diketahui Andira. Seketika aku sadar apa yang baru saja kulalukan,membayangkan dia?! Kupikir ada yang benar-benar salah dariku. Kami membelok di tangga dan sesaat sebelumnya bisa kulihat ia mengangkat wajahnya dari buku yang dibawanya.
Akibat kejadian tadi aku tak lagi mampu mengikuti seluruh rangkaian acara wawancara Andira bahkan aku lupa menangih janji menggiurkannya akan membelikan buku terbaru yang sedang menjadi incaranku sebulan ini. Sampai di rumah aku langsung masuk kamar, menguncinya rapat-rapat dan buru-buru mengambil diary-ku. Kutumpahkan semuanya di sana hingga aku lelah menulis.
“Ada yang berubah dariku? Ada yang berbeda dariku? Hanya saja aku tak mampu menjawabnya karena ku tak tahu apa jawabnya…”
Paginya untunglah aku tak terlambat bangun. Andira sudah membantuku bangun sejak kelas 3 ini. Ia selalu meneleponku saat adzan Subuh baru saja terdengar sehungga aku bisa belajar pagi,jadi sekarang aku mulai terbiasa dengan pola itu. Sambil membenarkan dasi abu-abuku aku melirik jadwal yang kubuat dengan bentuk kupu-kupu,’masih sehari lagi kalau aku berhasil melewati hari ini’,pikirku. Aku bernapas lega dan mempersiapkan mentalku selama semenit. Ini cara jitu yang kudapatkan dari Andira, yang awalnya kupikir sangat aneh dan buang-buang waktu, tapi ternyata setelah di coba lumayan juga hasilnya. Aku berdiri di depan kaca, melirik dasiku sekilas kemudian mengamati wajahku yang tersenyum balik padaku. Seperti yang kulakukan kemarin,ku kepalkan tangan, kuambil napas dalam-dalam, dan tiba-tiba aku berteriak sangat keras,”AKU PASTI BISA HARI INI,AKU BISA HARI INI,AKU BISA HARI INI!!!” dan ‘cessSS’  seperti ada es batu yang rubuh menimpaku, aku merasa sangat nyaman dan optimis. Aku tersenyum sekilas sebelum akhirnya akau keluar dari kamar.
Aku mulai terbiasa dengan suasana yang kulihat pagi ini. Semua anak duduk di depan ruangan ujian masing-masing, membawa buku mereka dan sibuk berkomat-kamit ria. Aku menemukan Andira di tempat kemarin kami duduk, masih membawa kameranya dan masih pula sibuk memfoto ria. Hanya saja kali ku tahu ia sedang menuliskan list kira-kira siapa saja teman-temannya yang akan masuk dalam daftar mnu wawancaranya. Aku tak menanggapi ya dan memilih untuk belajar sampai akhirnya bel tanda masuk berbunyi.
Tak ada yang berbeda dengan kemarin kecuali guru jaganya. Aku masih duduk di belakang Kurnia dan di belakangku ada Lucky yang kutahu selalu ribut mendekati menit-menit terakhir ujian berakhir. Aku masih saja bingung antara a atau b atau c atau d saat menemukan soal yang sulit dan Andira masih saja menanyakan pertanyaan-peranyaan yang sama saat kami telah keluar dari ruang ujian,meski kali ini dan hari-hari berikutnya aku tak menanggapinya lagi. Aku masih saja menyukai tertawa dan bahagia juga aku masih saja menanyakan apa yang terjadi padaku pada diriku sendiri. Ya..sebenarnya apa yang terjadi padaku minggu-minggu ini??
Aku baru saja keluar dari kantin ketika Dino-ketua marching band tahun angkatanku berjalan kearahku sambil membawa sebuah proposal.
“Sya…aku butuh bantuanmu”,jelasnya.
“Bantuan apa?”,tanyaku heran. Selama aku jadi anggota marching, setahuku baru 2 kali Dino meminta bantuanku, itupun sangat tidak membanggakan, aku hanya disuruh mencopy partitur lagu untuk 5 orang anggota yang tak berangkat. Hanya itu dan pikirku kali ini aku akan dimintai tolong untuk mencopy proposal yang dibawanya.
“Ada proposal dari adik kelas untuk acara perpisahan besok, kau mau ikut?”, tanyanya.
Aku memandangnya heran dan tersenyum, “Mungkin…,kau ikut?”
“Ha-ha-ha-ha…”,Dino tertawa,” Tentu saja aku ikut, kau ini aneh sekali…”,ia melanjutkan tawanya sambil melambai padaku.
Aku tersenyum pada kebodohanku sendiri.
“Dorr!!!”, Andira menepuk bahuku sambil tertawa. Ia sudah kembali dari perpustakaan dengan 2 buku di tangannya.
“Apa itu??”, tanyaku.
“Buku..”,Andira menjawab seenaknya.
Aku membuang muka dan Andira segera mencegahku sambil tertawa,”Hanya satu di dunia ini yang membuatku tertarik ke perpus….novel”
Aku tertawa samar. Andira selama ini yang kukenal ternyata belum sepenuhnya ku kenal. Kami kembali ke kelas dan itu membuat Andira langsung berkutat dengan 2 novelnya,sementara aku hanya duduk tanpa melakukan apa-apa.
Saat itulah aku melihatnya. Dia baru saja masuk ke kelasku saat aku menyadari itu benar-benar dia. Hampir saja aku berteriak memanggilnya agar aku dapat bicara dengannya,sebelum aku sadar aku ada di ruang kelas. Kulirik Andira yang masih asyik membaca novelnya dan aku kembai memandangnya. Ia berjalan ke arahku. Aku mulai gugup. Ia tersenyum dan dengan sangat canggung ku balas senyumnya,entah ia mengetahuinya atau tidak,aku tak peduli. Ia sudah hampir dekat dengan mejaku sekarang.
‘Sekarang waktunya…’,pikirku,’…sapa dia dulu dengan wajar…’. Aku memejamkan mata untuk menghilangkan kegugupanku dan ketika kubuka mata……ia hilang. Geragapan kau mencarinya dan akhirnya menemukan ia tengah bicara dengan Sinta di meja di sebelahku. Aku dongkol tapi kahirnya menghela napas pasrah yang sepertinya disadari Andira.
“Kenapa???”,tanyanya mengagetkanku.
“Ah-eh…apanya??Em-tidak…gak ada apa-apa kok…”,jawabku gugup.
“Oh-kukira,,,,oh sudahlah..”
“Ya..”,aku menanggapi sekenanya dan berharap bel segera berbunyi.
Dari sudut mataku bisa kulihat ia akrab sekali dengan Sinta-gadis populer yang termasuk dalam kandidat calon bintang sebuah production house. Aku menghela napas panjang dan meletakkan kepalaku di antara kedua tanganku. Sekali lagi aku harus bertanya,’Apa yang terjadi padaku??’. Ada desir-desir aneh tadi yang menelusup dalam diriku saat melihatnya, tapi sekarang desir-desir aneh yang membuatku nyaman tiba-tiba saja telah berganti dengan sebongkah bola api yang entah darimana asalnya. Aku membenamkan wajahku, mencoba mengusir hawa tak mengenakkan ini. Dan sedetik kemudian aku merasakan tangan Andira mengguncang badanku.
“Kenapa sih??!”,tanyaku.
Dengan wajah seolah tak melakukan apa-apa Andira menatapku”,Kau tak tidur rupanya..”
“Tentu saja memangnya aku ini tukang tidur apa??!!”,jawabku ketus.
“Maaf..kukira tadi kamu tidur, jadi waktu Angga kesini tadi ia hanya titip pesan”,jelas Andira yang membuatku tersentak.
‘Apa Angga tadi kesini??!!’,batinku menjerit,’Dan Andira pikir aku sedang tidur???!!!!!!!!’
“Baiklah…”,aku mencoba menutupi kekagetannku yang bercampur dengan penyesalan.
“Apanya??”,Andira bingung dengan tanggapanku.
“Tidak..”,nadaku mulai pasrah dan aku baru saja akan kembali memposisikan diriku seperti tadi ketika Andira menyadari ada yang berbeda dariku.
“Kau kenapa sih?!”,tanya Andira mencegahku kembali keposisi tadi.
“Kenapa?? Aku nggak kenapa-kenapa kok…jadi apa pesannya?”,tanyaku sambil mengubah air mukaku. Dalam hal ini aku yakin aku ahli menutupinya.
“Kau disuruh menemuinya nanti pulang sekolah”,jelas Andira yang tampaknya masih ragu dengan jawabanku atas pertanyaannya.
“Oh….baiklah,kau mau menemaniku?”,ajakku.
Kali ini raut wajah penasaran Andira tiba-tiba berubah,”Sebenarnya aku mau Sya…tapi karena aku harus kumpul di redaksional dulu,bagaimana kalau kita pulang barenga aja?”
“Oke…bukankah kita biasanya juga pulang bareng ya…”
Andira tertawa sambil meletakkan novelnya ketika bel berbunyi dan Bu Yenny masuk khas dengan sapaannya. Setelah jam ini berakhir aku mulai gugup.
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Andira mengingatkanku untuk menemuinya di redaksional dan aku mengangguk saja,kemudian ia keluar dengan terburu-buru. Aku sengaja memperlambat langkahku ketika akhirnya tak ada alasan lain bagiku untuk tetap di kelas. Beberapa teman sekelasku melewatiku begitu saja setelah sebelumnya menyapaku. Aku mengangguk pada mereka dan bertahan untuk berdiri sejenak beberapa meter sebelum berbelok. Ya…,setelah belokan itu kelasnya dan entah kenapa aku merasa sangat gugup.
“Hey…kau!”
Aku tersentak dan berbalik. Di sana tak jauh dariku ia memanggilku. Aku semakin gugup ketika melihatnya berjalan ke arahku. Sempat kulirik melalui sudut mataku dan bernapas lega ketika tahu hanya ada aku di sana.
“A-aku…???”,tanyaku sok jaim. Kadang di saat-saat seperti ini aku selalu bersikap sangat bodoh.
“Keisya kan??”,tanyanya tak menanggapi kegugupan dalam suaraku.
Aku mengangguk saja dan sedetik kemudian ia menyerahkan selembar kertas dengan kop surat sekolah di bagian atasnya. Belum juga aku sempat membukanya untuk membacanya lebih lanjut, dengan cepat ia sudah menjelaskan,”Minggu depan ada study banding dari Medan, kau ditunjuk jadi salah satu dutanya..”
“Hah-aku??!!!”,tanyaku heran.
Angga mengangguk,”Sebenarnya Sinta yang ditunjuk tapi karena ia sedang sibuk dengan persiapannya di PH, kau yang menggantikannya”
“Oh…”,ada sedikit nada kecewa dalam suaraku yang coba kututupi. “Tapi kenapa harus anak kelas XII?”,aku patut bangga dengan pertanyaanku ini, setidaknya aku tak melontarkan pertanyaan bodoh di depannya.
“Itu juga yang membuatku heran,tapi sudahlah toh hanya 2 hari. Tenang saja tak akan menganggu waktu belajar kita…”,ia tersenyum memastikan.
“Kita?!”,ada harapan melambung saat kutanyakan ini.
“Tentu saja…kau akan bersamaku 2 hari itu,mungkin akan membuatmu bosan tapi tenang saja aku bisa diandalkan”,ia tertawa kemudian pamit untuk pulang duluan, setelah sebelumnya berjanji akan menelponku jika ada yang perlu dibahas lagi.
Aku masih tertegun ditempat. Entah keajaiban apa yang tengah kudapat hari ini. Buru-buru aku berlari menuju redaksional dan menemukan Andira yang terlihat lebih cantik hari ini atau mataku kah yang tengah buta???
“An…”,bisikku dari balik pintu redaksional. Andira yang kelihatannya tengah sibuk mengetik sesuatu berbalik dan menyuruhku.
Selama berteman dengan Andira aku berulangkali memasuki ruang redaksional yang biasanya kuanggap terlalu sempit dan  penuh dengan kertas dan artikel. Tapi entah kenapa hari ini aku melihatnya sangat berbeda,kalau boleh jujur aku mulai menyukai ruang redaksional yang sempit itu.
Andira masih mengetik ketika aku masuk. Tampaknya ia sedang serius mengerjakan sesuatu karena ia tak berkutik saat aku duduk di sebelahnya,ia hanya menggeser tasnya dan membiarkan aku duduk di sana. Terpaksalah aku menunggunya sampai ia selesai mengerjakan yang kutahu setelah beberapa menit duduk di sana sebagai artikel tentang ujian nasional.
“Eh-Sya mau makan dulu nggak??”,tanya Andira sambil mengunci pintu redaksional. “Aku lapar nih…”,tambahnya.
“Emh-boleh,dimana?”,kesempatan bagiku untuk menjelaskan pada Andira tentang mood-ku hari ini.
Akhirnya tanpa banyak komentar aku menurut saja ketika Andira merekomendasikan makan di warung penyetan depan sekolah. Aku mengambil sebuah meja dekat jendela yang mengarah ke arah sekolah sementara Andira sibuk dengan sang penjual tentang pesanan kami.beberapa menit kemudian baru ia duduk di depanku dengan nampan besar berisi pesanan kami dan mulai melahap makanannya tanpa menungguku.
“Kau sepertinya lapar sekali An..”,komentarku yang dibalasnya dengan senyuman-penuh-makanan.
“Jadi udah ketemu Angga tadi?”,tiba-tiba Andira menanyakan pertanyaan yang sejak tadi ingin kuangkat sebagai topik pembiacaraan.
Perlu usaha keras bagiku untuk menelan makananku sebelum akhirnya aku menjawab pertanyaan Andira,”Yeah…”,aku mengangguk kemudian menyeruput es tehku.
“Lalu…?”
“Apanya?”
Andira menggeser piringnya yang telah kosong dan menarik minumannya lebih dekat,”Jadi ada perlu apa Si Mantan Ketua Osis itu denganmu?”
Nadanya menyebut Angga sebagai mantan ketua Osis sedikit membuatku sebal,tapi akhirnya kujawab juga pertanyaannya,”Aku ditunjuk sebagai duta sekolah di study banding minggu depan…”,kemudian kutambahkan dengan nada yang kubuat agar bisa diartikan sebagai sinyal ‘kecewa’,”…dengannya…”
“Wah,yang benar Sya?! Keren!!!Aku bisa wawancara kamu dong…study banding yang dari Medan itu kan?”,aku heran sendiri dengan respon Andira yang begitu ‘heboh’.
Aku mengangguk saja atas pertanyaan Andira itu kemudian melanjutkan melahap makananku, sementara Andira-gadis itu mulai sibuk dengan kerangka pertanyaan apa yang akan diajukannya padaku nanti. Dan aku akhirnya memutuskan untuk tak membawa Andira larut dalam apa-yang-sedang-terjadi-padaku.
Sampai di rumah buru-buru aku mengunci kamar, mencharge baterai handphoneku dan menyelesaikan semua tugas serta PR-ku untuk kemudian melihat time table tentang jadwalku hari ini. Ada tambahan les di rumah Andira malam ini dan semua list tugasku telah terselasaikan dengan baik,sehingga dengan senang hati kucoret dengan spidol merah.
“Sya…jam 7 ada leskan?”,mama yang sedang mengecek barang pesanan mengingatkanku.
“Iya…’jawabku dari dapur sambil membuka lemari makanan,berharap menemukan sedikit camilan yang bisa kubawa ke rumah Andira malam ini.
Akhirnya setelah menemukan sedikit camilan aku kembali ke kamar dan mengecek ulang apakah baterai handphone-ku telah benar-benar penuh. Aku tak ingin saat Angga menelpon nanti bateraiku low dan mengingat akan ada yang menelponku malam ini aku benar-benar bersemangat. Kulirik jam dinding di dekat rak bukuku dan mengeluh pelan ketika masih ada sekitar 3 jam lagi sebelum jam 7 malam. Akhirnya sambil menunggu,kubuka buku ‘Meraih Potensi Diri’ pemberian Andira 3 bulan lalu dan membacanya untuk yang ke-4 kalinya.

Minggu, 04 November 2012

PAMFLET BIRU KESENDIRIAN


Aku merasakan kesendirian lagi, hanya saja kali ini berbeda. Bukan apa – apa harusnya kalau aku bukan tipikal yang selalu merasa frustasi dengan pikiran sendiri. Kemampuan imajinasiku yang terlalu berlebihan kadang memberiku jebakan tersendiri di saat – saat seperti ini. Pagi yang harusnya cerah tiba – tiba saja berubah kelabu yang kemudian disambut hujan deras yang mengguyur sebagian kawasan sebelah barat. Terpukau oleh rintik hujan yang jatuh tepat di samping jendela kamarku, aku yakin akan ada sesuatu yang terjadi hari ini. Entah ini perasaanku saja atau mungkin aku telah punya feeling akan hal itu.
Butuh 2 kali bagi si penelpon untuk membuatku tersadar ada yang menghubungiku. Kutinggalkan sementara lamunan yang baru saja terbentuk akan kolaborasi suara hujan dan percikan air di luar untuk sekedar menjawab dering telepon.
“ Ya…hallo…”
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang ia katakan padaku. Berusaha mencerna secara kilat apa yang tertangkap telingaku kemudian meletakkan kembali gagang telepon beberapa menit kemudian.
Aku kembali duduk di dekat jendela dan memandang rentetan air hujan yang jatuh di luar sana. Bayangan yang terbentuk di sana sekarang berbeda. Kolaborasi antara suara hujan dan percikan air yang kudengar sekarang juga makin berubah. Aku duduk di sana lama sekali. Mendengarkan setiap perubahan yang terjadi dan berpikir mungkinkah ini sebuah keajaiban yang mampu mengubah kenyataan.
 2 minggu lalu….
“ Kau akan ikut?”
Aku tersenyum pasti, “ Ya….kau juga kan?!”
“ Mungkin…”, lalu ia menambahkan, “…tapi aku masih ragu….”
“ Kenapa?”, tanyaku penasaran.
Ia menggeleng pelan, “ Kau tahu, aku takut berhenti di tengah jalan lagi”
“ Oh-oke…itu juga masalahku”, aku berusaha membujuknya.
“ Aku masih ada kelas sore ini akan kuhubungi kalau aku berubah pikiran “, katanya kemudian melambai padaku.
“ Oke…”, gumamku sambil membalas lambaiannya.
Meski harus memutar agak jauh, tapi aku tetap melakukannya. Baru sehari yang lalu ditempel, tapi bagiku itu sudah seperti berbulan – bulan yang lalu sampai aku hafal isinya. Sebuah pamflet tentang penerimaan anggota baru orketra untuk kompetisi skala internasional. Lama aku menantikan saat penerimaan itu, hingga sekarang pamflet itu terpampang di papan pengumuman lengkap dengan syarat pendaftaran dan gambar penampilan mereka di kompetisi tahun lalu.
Sejak pengumuman itu ditempel akulah orang yang paling sering membacanya. Berdiri di sana dan membayangkan aku ada di gambar itu untuk pengumuman tahun berikutnya.
Aku menyukai biola. Alat kecil itulah satu – satunya benda berharga yang diberikan untukku saat ulang tahunku yang ke-13. Cukup mudah bagiku mempelajari permainan gesek dari biola karena sejak kecil aku telah terbiasa dengan not dan musik. Ayah yang mengajariku segala hal tentang itu dulu, hanya saja tak bertahan lama. Sejak aku di asramakan, tak pernah lagi kudengar kabar tentangnya juga ibuku. Kata penjaga asrama aku diasramakan karena orang tuaku tak ada yang mau mengalah untuk mengurusku sejak perceraian mereka. Akhirnya aku dimasukkan ke asrama sejak umur 9 tahun dan satu-satunya benda yang berasal dari orangtuaku hanyalah biola itu, itupun penjaga asrama harus menunggu hingga umurku genap 13 tahun sebelum ia menyerahkannya padaku, entah alasannya apa dia tak pernah menjelaskan.
Jadi begitulah aku tumbuh menjadi gadis yang pemalu dan lebih suka menyendiri sejak aku diperbolehkan sekolah di luar asrama. Mungkin tak seperti di asrama yang sebagian besar dari mereka juga memiliki kisah hidup sama seperti diriku, bahkan mungkin ada yang lebih parah.  Sekolah di luar asrama membuatku harus bertemu dengan orang – orang baru yang benar – benar asing bagiku. Ada berbagai macam tipikal yang kutemui dan ternyata aku belum siap untuk itu, hingga aku memilih untuk lebih banyak sendiri daripada harus berkumpul bersama orang – orang tersebut. Satu – satunya kawan yang kumiliki hanyalah Dhanny. Dia sama sepertiku dari asrama, tapi tampaknya dia lebih beruntung daripadaku yang pemalu. Dia juga menyukai biola sama sepertiku dan dia juga pernah menjuarai beberapa kompetisi, mungkin hal itulah yang membuatnya lebih percaya diri daripadaku.
Aku tersenyum kembali membayangkan gaun yang akan kupakai saat kompetisi nanti jika aku lolos seleksi penerimaan. Hampir setengah jam aku berdiri di sana, meski bagiku itu hanya seperti semenit. Kalau saja aku tak ingat ada janji dengan penjaga asrama sore ini, mungkin aku masih akan berlama-lama lagi memandang pamflet itu. Akhirnya kuputuskan untuk segera pergi dan berjanji pada diriku sendiri untuk kembali lagi memandang pamflet itu besok.
Seminggu lalu…
Aku sudah menyiapkan beberapa lagu yang akan kubawakan saat seleksi nanti. Penjaga asrama memberiku tip  karena telah membantunya menyelesaikan pesanan kue untuk sebuah pernikahan dan aku telah menggunakannya untuk membeli buku musik yang sebulan lalu diperlihatkan Dhanny padaku ketika dia bercerita tentang bagaimana caranya belajar biola pertama kali. Ia menunjukkan beberapa lagu yang dulu pernah ia mainkan dan ketika ia memintaku untuk juga mencoba dengan senang hati aku menolaknya. Aku memang tak pernah memainkan biola di depan orang. Pun ketika aku belajar memainkan lagu dari buku yang baru kubeli, aku selalu memilih waktu malam saat semua telah tidur.
Paginya kebetulan aku bertemu Dhanny saat pergantian kelas, mungkin lebih tepatnya  aku yang merencanakan agar kami bisa bertemu.
“ Hay Dhan…”, aku mencoba menyapa. Ia berbalik dan sangat kentara bahwa ia sedang lelah.
“ Oh-hay Sya…kau tak ada kelas rupanya?”, ia tersenyum padaku.
“ Ya…”, aku berbohong. Ia menuju tempat loker dan aku terus mengikutinya.
Ia membuka lokernya, memasukkan buku aljabar dan menggantinya dengan beberapa buku termasuk buku musiknya. Ia menutup lokernya dan sedikit terkejut saat melihatku masih ada di sampingnya.
Ia memandangku dengan heran,” Ada yang ingin kau bicarakan?”
Inilah yang kusuka dari Dhanny. Ia selalu menebak dan tebakannya selalu tepat.
“ Ehm-tentang kesepakatan kita seminggu lalu..kau jadi ikut?”
“ Apa??”
“ Kau tahu pembicaraan kita minggu lalu?”, aku berusaha mengingatkannya dan berharap ia menebak saja. Itu akan lebih mudah bagiku daripada aku harus menjelaskannya secara gamblang.
Tampaknya harapanku terkabul. Ia mengangguk padaku dan ada senyum mengembang di bibirnya, harapanku membumbung tinggi saat imajinasiku bekerja tentang Dhanny yang mengatakan akan ikut mendaftar.
Ia memegang pundakku dan berkata, “ Aku akan menghubungimu nanti oke…”
Aku tak bergerak. Semudah itu ia mengatakan akan menghubungiku nanti padahal ia juga mengatakan hal yang sama seminggu lalu, tapi tak ada telepon atau kabar apapun darinya sampai hari ini kuputuskan untuk menemuinya saja. Tapi aku tak berani membantah. Aku tak mau membuatnya marah hanya gara – gara masalah sepele yang mungkin saja bisa kuselesaikan sendiri. Akhirnya aku memilih mengangguk saja dan membalas lambaian Dhanny sementara hari terus berjalan dan tanggal terakhir pendaftaran sudah di depan mata.
4 hari lalu…
Aku sedang duduk sendirian di perpustakaan. Memutar – mutar pensil yang sedari tadi kupegang. Dhanny  yang kutunggu tak juga muncul. Semalam aku telah menelponnya tapi tak ada yang mengangkat dan di dering yang kelima aku mendengar suara ibunya. Ia mengatakan Dhanny masih ada les di luar jadi mungkin aku baru bisa menghubunginya setelah lewat pukul 9. Tapi aku tak bisa, penjaga asrama telah membatasi waktu telpon dan aku memutuskan untuk titip pesan saja agar Dhanny menemuiku besok di perpustakaan. Sekarang entah pesan itu belum sampai atau karena hal lain, sampai saat ini tak juga gadis berambut panjang itu muncul.
Aku kembali memutar pensil di tangan. Kali ini berlawan dengan arah jarum jam. Setelah 3 kali melakukan hal yang sama akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Pamflet itu masih terpasang di sana dan tak sendirian. Sudah banyak pamflet – pamflet lain yang terpasang di sana meski memang tak pernah ku perhatikan sebelumnya. Hanya satu pamflet yang menarik bagiku di sana. Warnanya yang biru dengan gambar sebuah orkestra besar selalu mengingatkanku akan impian besar seorang gadis kecil untuk memakai gaun indah dan menampilkan sebuah musik indah di depan banyak orang.
Aku tersenyum sendiri. Membacanya tak pernah membuatku bosan karena setelahnya aku jadi semangat berlatih di asrama untuk acara seleksi nanti yang aku yakin akan lolos. Aku menghela napas panjang. Sebenarnya ada banyak alasan aku mengharapkan Dhanny ikut mendaftar. Dia satu – satunya kawanku di sekolah dan jika aku nantinya lolos dalam seleksi masuk sebagai anggota orkestra berarti akan ada lebih banyak orang yang kutemui dan itu membuatku sedikit ketakutan awalnya, mengingat apa yang terjadi padaku saat masuk sekolah ini. Tapi aku punya Dhanny, dia pasti juga akan lolos dalam seleksi itu dan kami akan selalu bersama. Aku takkan lagi terlihat sebagai gadis penyendiri yang seolah tanpa teman dan perlahan aku akan belajar bagaimana caranya menambah teman hingga akhirnya aku benar – benar punya teman. Hanya saja mungkin dia bukan teman yang baik bagiku saat ini.
Hari ini…
“ Ya…hallo…”
“ Hay, Sya…aku melihatmu tadi malam, bagus banget…aku tak pernah menyangka kau bisa bermain sebagus itu…”
Aku diam saja.
“ Ehm-aku hanya ingin minta maaf….pasti kau menungguku lama sebelum akhirnya kau memutuskan untuk ikut seleksi. Aku tahu kau sangat ingin aku juga ikut denganmu karena kau pasti takut bertemu dengan banyak orang di sana nantinya. Tapi kali ini aku tak mau kau terlalu mengandalkanku Sya…aku ingin kau belajar sendiri. Pasti kau marah kalau ku bilang aku memang sengaja menghindarimu 2 minggu ini. Aku tahu kau sangat ingin mendaftar. Tiap hari aku melihatmu berdiri di sana memandangnya dengan penuh harap dan aku juga mengikutimu saat hari terakhir pendaftaran tadi malam. Kau tahu kau bermain sangat bagus, kau berbakat Sya dan aku ingin mengucapkan selamat atas keberhasilanmu Sya….Tak perlu takut kau akan merasa asing di sana nantinya karena aku akan tetap jadi temanmu, aku akan menemanimu latihan tiap kali aku bisa, kau hanya perlu belajar dan membiarkan oranglain mendengar musikmu….”
Aku tersenyum. Aku tahu Dhanny sedang menahan tangis di sana begitu pula diriku. Ia menutup teleponnya setelah mengucap ‘maaf dan selamat’ sekali lagi. Aku kembali duduk di dekat jendela.
Ini dia simfoni yang mestinya terdengar. Bukan lagi sekedar desau angin ditingkahi percikan air hujan di luar sana tetapi juga kelegaan dan semangat yang tiba – tiba muncul. Aku menatap keluar. Besok hari pertamaku latihan dan aku tahu aku bisa melewatinya sendiri. Kali pertama dalam hidupku aku merasa tak perlu takut lagi akan bertemu banyak orang dengan banyak tipikal berbeda dan mimpi akan gaun indah dalam pamflet biru kembali berputar. Sebuah kesendirian yang berbeda.