Butuh 2 kali bagi si penelpon untuk
membuatku tersadar ada yang menghubungiku. Kutinggalkan sementara lamunan yang
baru saja terbentuk akan kolaborasi suara hujan dan percikan air di luar untuk
sekedar menjawab dering telepon.
“ Ya…hallo…”
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang
ia katakan padaku. Berusaha mencerna secara kilat apa yang tertangkap telingaku
kemudian meletakkan kembali gagang telepon beberapa menit kemudian.
Aku kembali duduk di dekat jendela dan
memandang rentetan air hujan yang jatuh di luar sana. Bayangan yang terbentuk
di sana sekarang berbeda. Kolaborasi antara suara hujan dan percikan air yang
kudengar sekarang juga makin berubah. Aku duduk di sana lama sekali.
Mendengarkan setiap perubahan yang terjadi dan berpikir mungkinkah ini sebuah
keajaiban yang mampu mengubah kenyataan.
2
minggu lalu….
“ Kau akan ikut?”
Aku tersenyum pasti, “ Ya….kau juga
kan?!”
“ Mungkin…”, lalu ia menambahkan, “…tapi
aku masih ragu….”
“ Kenapa?”, tanyaku penasaran.
Ia menggeleng pelan, “ Kau tahu, aku
takut berhenti di tengah jalan lagi”
“ Oh-oke…itu juga masalahku”, aku
berusaha membujuknya.
“ Aku masih ada kelas sore ini akan
kuhubungi kalau aku berubah pikiran “, katanya kemudian melambai padaku.
“ Oke…”, gumamku sambil membalas
lambaiannya.
Meski harus memutar agak jauh, tapi aku
tetap melakukannya. Baru sehari yang lalu ditempel, tapi bagiku itu sudah
seperti berbulan – bulan yang lalu sampai aku hafal isinya. Sebuah pamflet tentang
penerimaan anggota baru orketra untuk kompetisi skala internasional. Lama aku
menantikan saat penerimaan itu, hingga sekarang pamflet itu terpampang di papan
pengumuman lengkap dengan syarat pendaftaran dan gambar penampilan mereka di
kompetisi tahun lalu.
Sejak pengumuman itu ditempel akulah
orang yang paling sering membacanya. Berdiri di sana dan membayangkan aku ada
di gambar itu untuk pengumuman tahun berikutnya.
Aku menyukai biola. Alat kecil itulah
satu – satunya benda berharga yang diberikan untukku saat ulang tahunku yang
ke-13. Cukup mudah bagiku mempelajari permainan gesek dari biola karena sejak
kecil aku telah terbiasa dengan not dan musik. Ayah yang mengajariku segala hal
tentang itu dulu, hanya saja tak bertahan lama. Sejak aku di asramakan, tak
pernah lagi kudengar kabar tentangnya juga ibuku. Kata penjaga asrama aku
diasramakan karena orang tuaku tak ada yang mau mengalah untuk mengurusku sejak
perceraian mereka. Akhirnya aku dimasukkan ke asrama sejak umur 9 tahun dan
satu-satunya benda yang berasal dari orangtuaku hanyalah biola itu, itupun
penjaga asrama harus menunggu hingga umurku genap 13 tahun sebelum ia
menyerahkannya padaku, entah alasannya apa dia tak pernah menjelaskan.
Jadi begitulah aku tumbuh menjadi gadis
yang pemalu dan lebih suka menyendiri sejak aku diperbolehkan sekolah di luar
asrama. Mungkin tak seperti di asrama yang sebagian besar dari mereka juga
memiliki kisah hidup sama seperti diriku, bahkan mungkin ada yang lebih
parah. Sekolah di luar asrama membuatku
harus bertemu dengan orang – orang baru yang benar – benar asing bagiku. Ada
berbagai macam tipikal yang kutemui dan ternyata aku belum siap untuk itu,
hingga aku memilih untuk lebih banyak sendiri daripada harus berkumpul bersama
orang – orang tersebut. Satu – satunya kawan yang kumiliki hanyalah Dhanny. Dia
sama sepertiku dari asrama, tapi tampaknya dia lebih beruntung daripadaku yang pemalu.
Dia juga menyukai biola sama sepertiku dan dia juga pernah menjuarai beberapa
kompetisi, mungkin hal itulah yang membuatnya lebih percaya diri daripadaku.
Aku tersenyum kembali membayangkan gaun
yang akan kupakai saat kompetisi nanti jika aku lolos seleksi penerimaan.
Hampir setengah jam aku berdiri di sana, meski bagiku itu hanya seperti
semenit. Kalau saja aku tak ingat ada janji dengan penjaga asrama sore ini,
mungkin aku masih akan berlama-lama lagi memandang pamflet itu. Akhirnya
kuputuskan untuk segera pergi dan berjanji pada diriku sendiri untuk kembali
lagi memandang pamflet itu besok.
Seminggu lalu…
Aku sudah menyiapkan beberapa lagu yang
akan kubawakan saat seleksi nanti. Penjaga asrama memberiku tip karena telah membantunya menyelesaikan
pesanan kue untuk sebuah pernikahan dan aku telah menggunakannya untuk membeli
buku musik yang sebulan lalu diperlihatkan Dhanny padaku ketika dia bercerita
tentang bagaimana caranya belajar biola pertama kali. Ia menunjukkan beberapa
lagu yang dulu pernah ia mainkan dan ketika ia memintaku untuk juga mencoba
dengan senang hati aku menolaknya. Aku memang tak pernah memainkan biola di
depan orang. Pun ketika aku belajar memainkan lagu dari buku yang baru kubeli,
aku selalu memilih waktu malam saat semua telah tidur.
Paginya kebetulan aku bertemu Dhanny
saat pergantian kelas, mungkin lebih tepatnya aku yang merencanakan agar kami bisa bertemu.
“ Hay Dhan…”, aku mencoba menyapa. Ia
berbalik dan sangat kentara bahwa ia sedang lelah.
“ Oh-hay Sya…kau tak ada kelas
rupanya?”, ia tersenyum padaku.
“ Ya…”, aku berbohong. Ia menuju tempat
loker dan aku terus mengikutinya.
Ia
membuka lokernya, memasukkan buku aljabar dan menggantinya dengan beberapa buku
termasuk buku musiknya. Ia menutup lokernya dan sedikit terkejut saat melihatku
masih ada di sampingnya.
Ia memandangku dengan heran,” Ada yang
ingin kau bicarakan?”
Inilah yang kusuka dari Dhanny. Ia
selalu menebak dan tebakannya selalu tepat.
“ Ehm-tentang kesepakatan kita seminggu
lalu..kau jadi ikut?”
“ Apa??”
“ Kau tahu pembicaraan kita minggu
lalu?”, aku berusaha mengingatkannya dan berharap ia menebak saja. Itu akan
lebih mudah bagiku daripada aku harus menjelaskannya secara gamblang.
Tampaknya harapanku terkabul. Ia
mengangguk padaku dan ada senyum mengembang di bibirnya, harapanku membumbung
tinggi saat imajinasiku bekerja tentang Dhanny yang mengatakan akan ikut
mendaftar.
Ia memegang pundakku dan berkata, “ Aku
akan menghubungimu nanti oke…”
Aku tak bergerak. Semudah itu ia
mengatakan akan menghubungiku nanti padahal ia juga mengatakan hal yang sama
seminggu lalu, tapi tak ada telepon atau kabar apapun darinya sampai hari ini
kuputuskan untuk menemuinya saja. Tapi aku tak berani membantah. Aku tak mau
membuatnya marah hanya gara – gara masalah sepele yang mungkin saja bisa kuselesaikan
sendiri. Akhirnya aku memilih mengangguk saja dan membalas lambaian Dhanny
sementara hari terus berjalan dan tanggal terakhir pendaftaran sudah di depan
mata.
4 hari lalu…
Aku sedang duduk sendirian di
perpustakaan. Memutar – mutar pensil yang sedari tadi kupegang. Dhanny yang kutunggu tak juga muncul. Semalam aku
telah menelponnya tapi tak ada yang mengangkat dan di dering yang kelima aku mendengar
suara ibunya. Ia mengatakan Dhanny masih ada les di luar jadi mungkin aku baru
bisa menghubunginya setelah lewat pukul 9. Tapi aku tak bisa, penjaga asrama
telah membatasi waktu telpon dan aku memutuskan untuk titip pesan saja agar Dhanny
menemuiku besok di perpustakaan. Sekarang entah pesan itu belum sampai atau
karena hal lain, sampai saat ini tak juga gadis berambut panjang itu muncul.
Aku kembali memutar pensil di tangan.
Kali ini berlawan dengan arah jarum jam. Setelah 3 kali melakukan hal yang sama
akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Pamflet itu masih terpasang di sana dan tak
sendirian. Sudah banyak pamflet – pamflet lain yang terpasang di sana meski memang
tak pernah ku perhatikan sebelumnya. Hanya satu pamflet yang menarik bagiku di
sana. Warnanya yang biru dengan gambar sebuah orkestra besar selalu
mengingatkanku akan impian besar seorang gadis kecil untuk memakai gaun indah
dan menampilkan sebuah musik indah di depan banyak orang.
Aku tersenyum sendiri. Membacanya tak
pernah membuatku bosan karena setelahnya aku jadi semangat berlatih di asrama
untuk acara seleksi nanti yang aku yakin akan lolos. Aku menghela napas
panjang. Sebenarnya ada banyak alasan aku mengharapkan Dhanny ikut mendaftar.
Dia satu – satunya kawanku di sekolah dan jika aku nantinya lolos dalam seleksi
masuk sebagai anggota orkestra berarti akan ada lebih banyak orang yang kutemui
dan itu membuatku sedikit ketakutan awalnya, mengingat apa yang terjadi padaku
saat masuk sekolah ini. Tapi aku punya Dhanny, dia pasti juga akan lolos dalam
seleksi itu dan kami akan selalu bersama. Aku takkan lagi terlihat sebagai
gadis penyendiri yang seolah tanpa teman dan perlahan aku akan belajar
bagaimana caranya menambah teman hingga akhirnya aku benar – benar punya teman.
Hanya saja mungkin dia bukan teman yang baik bagiku saat ini.
Hari ini…
“ Ya…hallo…”
“ Hay, Sya…aku melihatmu tadi malam,
bagus banget…aku tak pernah menyangka kau bisa bermain sebagus itu…”
Aku diam saja.
“ Ehm-aku hanya ingin minta maaf….pasti
kau menungguku lama sebelum akhirnya kau memutuskan untuk ikut seleksi. Aku
tahu kau sangat ingin aku juga ikut denganmu karena kau pasti takut bertemu
dengan banyak orang di sana nantinya. Tapi kali ini aku tak mau kau terlalu
mengandalkanku Sya…aku ingin kau belajar sendiri. Pasti kau marah kalau ku
bilang aku memang sengaja menghindarimu 2 minggu ini. Aku tahu kau sangat ingin
mendaftar. Tiap hari aku melihatmu berdiri di sana memandangnya dengan penuh
harap dan aku juga mengikutimu saat hari terakhir pendaftaran tadi malam. Kau
tahu kau bermain sangat bagus, kau berbakat Sya dan aku ingin mengucapkan selamat
atas keberhasilanmu Sya….Tak perlu takut kau akan merasa asing di sana nantinya
karena aku akan tetap jadi temanmu, aku akan menemanimu latihan tiap kali aku
bisa, kau hanya perlu belajar dan membiarkan oranglain mendengar musikmu….”
Aku tersenyum. Aku tahu Dhanny sedang
menahan tangis di sana begitu pula diriku. Ia menutup teleponnya setelah
mengucap ‘maaf dan selamat’ sekali lagi. Aku kembali duduk di dekat jendela.
Ini dia simfoni yang mestinya terdengar.
Bukan lagi sekedar desau angin ditingkahi percikan air hujan di luar sana
tetapi juga kelegaan dan semangat yang tiba – tiba muncul. Aku menatap keluar.
Besok hari pertamaku latihan dan aku tahu aku bisa melewatinya sendiri. Kali
pertama dalam hidupku aku merasa tak perlu takut lagi akan bertemu banyak orang
dengan banyak tipikal berbeda dan mimpi akan gaun indah dalam pamflet biru
kembali berputar. Sebuah kesendirian yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar