Minggu, 04 November 2012

PAMFLET BIRU KESENDIRIAN


Aku merasakan kesendirian lagi, hanya saja kali ini berbeda. Bukan apa – apa harusnya kalau aku bukan tipikal yang selalu merasa frustasi dengan pikiran sendiri. Kemampuan imajinasiku yang terlalu berlebihan kadang memberiku jebakan tersendiri di saat – saat seperti ini. Pagi yang harusnya cerah tiba – tiba saja berubah kelabu yang kemudian disambut hujan deras yang mengguyur sebagian kawasan sebelah barat. Terpukau oleh rintik hujan yang jatuh tepat di samping jendela kamarku, aku yakin akan ada sesuatu yang terjadi hari ini. Entah ini perasaanku saja atau mungkin aku telah punya feeling akan hal itu.
Butuh 2 kali bagi si penelpon untuk membuatku tersadar ada yang menghubungiku. Kutinggalkan sementara lamunan yang baru saja terbentuk akan kolaborasi suara hujan dan percikan air di luar untuk sekedar menjawab dering telepon.
“ Ya…hallo…”
Aku mendengarkan dengan seksama apa yang ia katakan padaku. Berusaha mencerna secara kilat apa yang tertangkap telingaku kemudian meletakkan kembali gagang telepon beberapa menit kemudian.
Aku kembali duduk di dekat jendela dan memandang rentetan air hujan yang jatuh di luar sana. Bayangan yang terbentuk di sana sekarang berbeda. Kolaborasi antara suara hujan dan percikan air yang kudengar sekarang juga makin berubah. Aku duduk di sana lama sekali. Mendengarkan setiap perubahan yang terjadi dan berpikir mungkinkah ini sebuah keajaiban yang mampu mengubah kenyataan.
 2 minggu lalu….
“ Kau akan ikut?”
Aku tersenyum pasti, “ Ya….kau juga kan?!”
“ Mungkin…”, lalu ia menambahkan, “…tapi aku masih ragu….”
“ Kenapa?”, tanyaku penasaran.
Ia menggeleng pelan, “ Kau tahu, aku takut berhenti di tengah jalan lagi”
“ Oh-oke…itu juga masalahku”, aku berusaha membujuknya.
“ Aku masih ada kelas sore ini akan kuhubungi kalau aku berubah pikiran “, katanya kemudian melambai padaku.
“ Oke…”, gumamku sambil membalas lambaiannya.
Meski harus memutar agak jauh, tapi aku tetap melakukannya. Baru sehari yang lalu ditempel, tapi bagiku itu sudah seperti berbulan – bulan yang lalu sampai aku hafal isinya. Sebuah pamflet tentang penerimaan anggota baru orketra untuk kompetisi skala internasional. Lama aku menantikan saat penerimaan itu, hingga sekarang pamflet itu terpampang di papan pengumuman lengkap dengan syarat pendaftaran dan gambar penampilan mereka di kompetisi tahun lalu.
Sejak pengumuman itu ditempel akulah orang yang paling sering membacanya. Berdiri di sana dan membayangkan aku ada di gambar itu untuk pengumuman tahun berikutnya.
Aku menyukai biola. Alat kecil itulah satu – satunya benda berharga yang diberikan untukku saat ulang tahunku yang ke-13. Cukup mudah bagiku mempelajari permainan gesek dari biola karena sejak kecil aku telah terbiasa dengan not dan musik. Ayah yang mengajariku segala hal tentang itu dulu, hanya saja tak bertahan lama. Sejak aku di asramakan, tak pernah lagi kudengar kabar tentangnya juga ibuku. Kata penjaga asrama aku diasramakan karena orang tuaku tak ada yang mau mengalah untuk mengurusku sejak perceraian mereka. Akhirnya aku dimasukkan ke asrama sejak umur 9 tahun dan satu-satunya benda yang berasal dari orangtuaku hanyalah biola itu, itupun penjaga asrama harus menunggu hingga umurku genap 13 tahun sebelum ia menyerahkannya padaku, entah alasannya apa dia tak pernah menjelaskan.
Jadi begitulah aku tumbuh menjadi gadis yang pemalu dan lebih suka menyendiri sejak aku diperbolehkan sekolah di luar asrama. Mungkin tak seperti di asrama yang sebagian besar dari mereka juga memiliki kisah hidup sama seperti diriku, bahkan mungkin ada yang lebih parah.  Sekolah di luar asrama membuatku harus bertemu dengan orang – orang baru yang benar – benar asing bagiku. Ada berbagai macam tipikal yang kutemui dan ternyata aku belum siap untuk itu, hingga aku memilih untuk lebih banyak sendiri daripada harus berkumpul bersama orang – orang tersebut. Satu – satunya kawan yang kumiliki hanyalah Dhanny. Dia sama sepertiku dari asrama, tapi tampaknya dia lebih beruntung daripadaku yang pemalu. Dia juga menyukai biola sama sepertiku dan dia juga pernah menjuarai beberapa kompetisi, mungkin hal itulah yang membuatnya lebih percaya diri daripadaku.
Aku tersenyum kembali membayangkan gaun yang akan kupakai saat kompetisi nanti jika aku lolos seleksi penerimaan. Hampir setengah jam aku berdiri di sana, meski bagiku itu hanya seperti semenit. Kalau saja aku tak ingat ada janji dengan penjaga asrama sore ini, mungkin aku masih akan berlama-lama lagi memandang pamflet itu. Akhirnya kuputuskan untuk segera pergi dan berjanji pada diriku sendiri untuk kembali lagi memandang pamflet itu besok.
Seminggu lalu…
Aku sudah menyiapkan beberapa lagu yang akan kubawakan saat seleksi nanti. Penjaga asrama memberiku tip  karena telah membantunya menyelesaikan pesanan kue untuk sebuah pernikahan dan aku telah menggunakannya untuk membeli buku musik yang sebulan lalu diperlihatkan Dhanny padaku ketika dia bercerita tentang bagaimana caranya belajar biola pertama kali. Ia menunjukkan beberapa lagu yang dulu pernah ia mainkan dan ketika ia memintaku untuk juga mencoba dengan senang hati aku menolaknya. Aku memang tak pernah memainkan biola di depan orang. Pun ketika aku belajar memainkan lagu dari buku yang baru kubeli, aku selalu memilih waktu malam saat semua telah tidur.
Paginya kebetulan aku bertemu Dhanny saat pergantian kelas, mungkin lebih tepatnya  aku yang merencanakan agar kami bisa bertemu.
“ Hay Dhan…”, aku mencoba menyapa. Ia berbalik dan sangat kentara bahwa ia sedang lelah.
“ Oh-hay Sya…kau tak ada kelas rupanya?”, ia tersenyum padaku.
“ Ya…”, aku berbohong. Ia menuju tempat loker dan aku terus mengikutinya.
Ia membuka lokernya, memasukkan buku aljabar dan menggantinya dengan beberapa buku termasuk buku musiknya. Ia menutup lokernya dan sedikit terkejut saat melihatku masih ada di sampingnya.
Ia memandangku dengan heran,” Ada yang ingin kau bicarakan?”
Inilah yang kusuka dari Dhanny. Ia selalu menebak dan tebakannya selalu tepat.
“ Ehm-tentang kesepakatan kita seminggu lalu..kau jadi ikut?”
“ Apa??”
“ Kau tahu pembicaraan kita minggu lalu?”, aku berusaha mengingatkannya dan berharap ia menebak saja. Itu akan lebih mudah bagiku daripada aku harus menjelaskannya secara gamblang.
Tampaknya harapanku terkabul. Ia mengangguk padaku dan ada senyum mengembang di bibirnya, harapanku membumbung tinggi saat imajinasiku bekerja tentang Dhanny yang mengatakan akan ikut mendaftar.
Ia memegang pundakku dan berkata, “ Aku akan menghubungimu nanti oke…”
Aku tak bergerak. Semudah itu ia mengatakan akan menghubungiku nanti padahal ia juga mengatakan hal yang sama seminggu lalu, tapi tak ada telepon atau kabar apapun darinya sampai hari ini kuputuskan untuk menemuinya saja. Tapi aku tak berani membantah. Aku tak mau membuatnya marah hanya gara – gara masalah sepele yang mungkin saja bisa kuselesaikan sendiri. Akhirnya aku memilih mengangguk saja dan membalas lambaian Dhanny sementara hari terus berjalan dan tanggal terakhir pendaftaran sudah di depan mata.
4 hari lalu…
Aku sedang duduk sendirian di perpustakaan. Memutar – mutar pensil yang sedari tadi kupegang. Dhanny  yang kutunggu tak juga muncul. Semalam aku telah menelponnya tapi tak ada yang mengangkat dan di dering yang kelima aku mendengar suara ibunya. Ia mengatakan Dhanny masih ada les di luar jadi mungkin aku baru bisa menghubunginya setelah lewat pukul 9. Tapi aku tak bisa, penjaga asrama telah membatasi waktu telpon dan aku memutuskan untuk titip pesan saja agar Dhanny menemuiku besok di perpustakaan. Sekarang entah pesan itu belum sampai atau karena hal lain, sampai saat ini tak juga gadis berambut panjang itu muncul.
Aku kembali memutar pensil di tangan. Kali ini berlawan dengan arah jarum jam. Setelah 3 kali melakukan hal yang sama akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Pamflet itu masih terpasang di sana dan tak sendirian. Sudah banyak pamflet – pamflet lain yang terpasang di sana meski memang tak pernah ku perhatikan sebelumnya. Hanya satu pamflet yang menarik bagiku di sana. Warnanya yang biru dengan gambar sebuah orkestra besar selalu mengingatkanku akan impian besar seorang gadis kecil untuk memakai gaun indah dan menampilkan sebuah musik indah di depan banyak orang.
Aku tersenyum sendiri. Membacanya tak pernah membuatku bosan karena setelahnya aku jadi semangat berlatih di asrama untuk acara seleksi nanti yang aku yakin akan lolos. Aku menghela napas panjang. Sebenarnya ada banyak alasan aku mengharapkan Dhanny ikut mendaftar. Dia satu – satunya kawanku di sekolah dan jika aku nantinya lolos dalam seleksi masuk sebagai anggota orkestra berarti akan ada lebih banyak orang yang kutemui dan itu membuatku sedikit ketakutan awalnya, mengingat apa yang terjadi padaku saat masuk sekolah ini. Tapi aku punya Dhanny, dia pasti juga akan lolos dalam seleksi itu dan kami akan selalu bersama. Aku takkan lagi terlihat sebagai gadis penyendiri yang seolah tanpa teman dan perlahan aku akan belajar bagaimana caranya menambah teman hingga akhirnya aku benar – benar punya teman. Hanya saja mungkin dia bukan teman yang baik bagiku saat ini.
Hari ini…
“ Ya…hallo…”
“ Hay, Sya…aku melihatmu tadi malam, bagus banget…aku tak pernah menyangka kau bisa bermain sebagus itu…”
Aku diam saja.
“ Ehm-aku hanya ingin minta maaf….pasti kau menungguku lama sebelum akhirnya kau memutuskan untuk ikut seleksi. Aku tahu kau sangat ingin aku juga ikut denganmu karena kau pasti takut bertemu dengan banyak orang di sana nantinya. Tapi kali ini aku tak mau kau terlalu mengandalkanku Sya…aku ingin kau belajar sendiri. Pasti kau marah kalau ku bilang aku memang sengaja menghindarimu 2 minggu ini. Aku tahu kau sangat ingin mendaftar. Tiap hari aku melihatmu berdiri di sana memandangnya dengan penuh harap dan aku juga mengikutimu saat hari terakhir pendaftaran tadi malam. Kau tahu kau bermain sangat bagus, kau berbakat Sya dan aku ingin mengucapkan selamat atas keberhasilanmu Sya….Tak perlu takut kau akan merasa asing di sana nantinya karena aku akan tetap jadi temanmu, aku akan menemanimu latihan tiap kali aku bisa, kau hanya perlu belajar dan membiarkan oranglain mendengar musikmu….”
Aku tersenyum. Aku tahu Dhanny sedang menahan tangis di sana begitu pula diriku. Ia menutup teleponnya setelah mengucap ‘maaf dan selamat’ sekali lagi. Aku kembali duduk di dekat jendela.
Ini dia simfoni yang mestinya terdengar. Bukan lagi sekedar desau angin ditingkahi percikan air hujan di luar sana tetapi juga kelegaan dan semangat yang tiba – tiba muncul. Aku menatap keluar. Besok hari pertamaku latihan dan aku tahu aku bisa melewatinya sendiri. Kali pertama dalam hidupku aku merasa tak perlu takut lagi akan bertemu banyak orang dengan banyak tipikal berbeda dan mimpi akan gaun indah dalam pamflet biru kembali berputar. Sebuah kesendirian yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar