Ia menutup kedua matanya dengan tangan dan berbalik membelakangiku. Ada sesak yang membuatku bertanya-tanya, ada apakah gerangan dirinya? Ia menelungkupkan badannya dan bisa kudengar samar-samar isak tangisnya. Pertama kalinya ia meneteskan air mata di depanku. Kukira dia kuat, kukira dia hebat, kukira dia....ahh-aku tak mau menyebutkan secara berlebihan.
Ada yang salah di sana hingga dia yang kupikir sebelumnya berbalik 180 derajat. Tangisnya membuatku perih dan tak kuasa ku mendekapnya. Apa salahnya atau apa salahku hingga air mata itu jatuh???
Waktu, haruskah kusalahkan waktu karena tak mampu membuat kelapangan bagi kita berdua? Tak mungkin aku bisa mengatur waktu seenak hati, memajukannya, memundurkannya, mempercepat bahkan melambatkannya. Siapa aku ini/ Hanya seonggok daging yang bisa bicara dan berjalan kaki.
Aku menangis dalam diam namun seakan tak mau menampakkan kesedihan mendalam di depannya, kututupi dengan mencoba berkata tegar padanya. Waktu tak akan salah, kita saja yang tidak bisa melakukannya dengan benar.
Maka ia pun berhenti menangis. Dalam sengaunya ia mengatakan bahwa ini semua salahnya.
Deg!
Apa itu??Kenapa dia justru menyalahkan dirinya sendiri. Aku tak mau dengar. Tak ada yang benar-benar salah di sini. Kujawab, kita saja yang tidak bisa melakukannya dengan benar.
Dalam beberapa waktu kita terdiam. Telah kering air matanya, namun banjir di hatiku sekarang. Aku tertunduk lesu dan bicara dalam diam, "Tuhan....benarkah ini semua?Kenapa...kenapa harus begini adanya??Tak sabarkah kami karena keegoisan ini?"
Rintik hujan menemani hariku dengannya. Tangis itu.....aku tak mau melihat lagi. Sekali ini kucoba untuk bersabar, hanya dengan satu alasan...aku menyayanginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar