Entah kapan ini kutulis, yang jelas aku sudah menyelesaikannya hingga bab.4. Kalau ada yang mampir, tolong bantu aku untuk memberinya judul ya..(sebenarnya aku juga tak tahu mau memberi judul apa-yang jelas di aslinya aku memberinya judul noveljadipunbelumjudljugagakada), mohon komentarnya karena aku hanya sekedar memposting tulisan yang kutemukan di folder lamaku. Semoga bermanfaat...enjoy read it :)
ONE
Aku
hanyalah manusia biasa,yang tak mempunyai daya apa-apa untuk mengubah apa yang
telah tersurat di kehidupan nyata. Aku hanya dapat bertanya mengapa dan
menjalani bagaimana. Aku menghela napas panjang. Sudah hampir setahun tapi aku
tak menemukan kepastian dari semua yang telah kulakukan dan aku hampir letih
karenanya.
Mungkin
semua ini tak akan menjadi seperti ini jika aku tak pernah menyetujui
kepindahan kami ke Yogja. Aku harus beradaptasi ulang dengan lingkungan yang
benar-benar berbeda dan terutama aku harus menghadapi ujian pertama masuk
sekolah baru. Aku menghela napas panjang dan melangkahkan kaki memasuki pintu
gerbang sekolah. Seragam putih abu-abu seolah membanjiri gedung tua itu dengan
celotehan mereka yang beberapa tak kutahu maksudnya. Sudah hampir setahun
lalu,sejak aku memasuki gerbang itu dengan canggung. Semua orang menatapku
ingin tahu seolah aku makhluk dari planet lain dan aku harus dengan sabar
menjawab pertanyaan sama yang selalu diucapkan mereka saat bertemu denganku
selama seminggu pertama aku sekolah,”Kamu anak baru ya…?”,”Darimana?”,”Rumahmu
dimana?” dan aku tersenyum saat ini jika mengingatnya.
Tapi
itu semua setahu lalu. Dan kini ketika aku sudah menjadi bagian dari mereka aku
mulai merasakan kehadiranku tak spesial lagi. Bukan karena aku menginginkan
sebuah ketenaran sama seperti yang sering digembor-gemborkan Sinta di kelas
bersama semua anggota gengnya. Hanya saja aku merasa kesepian yang dulunya
datang saat awal-awal aku di Yogja kembali terulang. Teman-temanku memang banyak
dan sangat baik padaku, tapi entah kenapa aku masih saja sering merasa ada
sesuatu yang kurang dan seolah ada lubang dalam hatiku ini yang terus-menerus
terbuka. Aku kembali menghela napas, mengingat hal itu aku merasa sangat merana
dan aku tak mau itu terjadi hari ini.
“
Hay…guys,kau sudah siap?! ”,Andira Sang Pemimpin Redaksi menyapaku di loker.
Aku
hanya tersenyum padanya. Test hari ini adalah test persiapan Ujian Nasional yang
terakhir dan aku harus mempertahankan predikat ‘lulus’ test persiapan yang
lalu. Aku membuka loker dan mengeluarkan beberapa catatan, sementara Andira
sudah menutup lokernya.
“
Kau tahu,liputan simulasi ujian kali ini aku yang buat, jadi kemungkinan ada
banyak hal yang akan menyudutkan Faris”,jelas Andira.
“
Yeah…”,aku mengangguk,” Kau selalu
sajakan begitu….membuat berita yang kontroversial…”,tambahku,yang
disambut tawa Andira.
“Jadi
kau yakin lulus kali ini?”
Aku
hanya mengangguk, meski tidak seratus persen tapi setidaknya ada sedikit
optimis dalam diriku. Sementara bagi Andira,tak perlu kutanyakan pertanyaan
yang sama, karena baginya Ujian Nasional hanyalah ujian biasa sama seperti
ulangan harian.
Di
depan ruangan yang akan kami tempati berjejer teman-temanku yang lain dengan
buku catatan masing-masing. Beberapa anak menyapaku ketika aku melewati mereka
untuk mencari tempat duduk, sementara kebanyakan dari mereka yang lain seolah
tak mampu lepas lagi dari hafalan buku di tangan mereka. Aku melewati Dita dan
Siska yang justru asyik mengobrol dan sengaja memilih tempat duduk yang jauh dari keramaian, sementara Andira yang
sejak tadi menguntit di belakangku duduk
di sampingku memasukkan buku catatannya ke dalam tas, mengambil kamera dan
mulai asyik memfoto suasana disekitarnya.
Aku
membuka buku catatanku dan mulai membaca beberapa bab yang ku anggap nanti akan
keluar. Hafalanku sudah sangat banyak tadi malam dan tak mungkin aku harus
menghafalkan materi lagi. Jadi akau hanya membuka buku dan membacanya sekilas
kemudian menatap teman-temanku yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing,terutama
Andira yang terlalu mencolok dengan kameranya. Sedang asyik-asyiknya
memperhatikan tiba-tiba ada yang mencuri perhatianku lebih.
Ia
di sana, di depan ruangan lain. Baru saja berangkat dan sedang mengobrol dengan
temannya. Aku mengamati dari jauh. Nampaknya ia sedang senang dan entah kenapa
aku jadi tersenyum sendiri. Andira yang memang bermata tajam sepertinya tahu
apa yang sedang kulakukan. Dengan sangat tidak sopannya ia mengagetkanku dengan jepretan kameranya
sambil tertawa,” Say chiiiisss…!!!”
Aku
geragapan,” Ikh apaan sih An??!!”,wajahku dongkol.
Andira
masih saja tertawa dan mencoba memperrmainkanku,sementara aku mulai sebal
dengan sikapnya yang merusak kesenanganku. Belum juga ia selesai tertawa, tiba-tiba
bel telah berbunyi dan ia sudah lenyap dari tempatnya berdiri tadi. Aku
mendengus kesal dan segera masuk dengan hati dongkol. Mulai hari itu aku tahu
ada yang berbeda dariku.
Soal
telah dibagikan dan semua telah siap dengan jurus masing-masing,tinggal
menunggu bel dan semua akan mengetahui hasilnya seminggu lagi. Aku menghela
napas panjang dan mengulang doaku tiga kali, meski beberapa menit tadi sempat
dongkol, untuk urusan yang satu ini aku harus fokus. Aku melirik jam dinding di
depan 2 menit lagi. Aku mulai tak sabar, kulirik teman-teman seperjuanganku
yang sepertinya juga merasakan ketidak sabaran sama sepertiku. Andira duduk di
bangku deretan depan sementara aku jauh agak ketengah. Bangku di belakangku
diisi Lucky-cowok berkacamata yang dikenal ahli basket, sementara di depanku
Kurnia-sang penyanyi dangdut. Melihat teman-temanku aku jadi merasa iri, mereka
punya kelebihan yang aku tak punya dan bagi mereka ujian ini seolah tak ada
artinya sama seperti Andira, sementara aku-bukan-siapa-siapa-hanya seorang
gadis yang hobi menulis. Aku menunduk segera membuka soal ketika akhirnya bel
berbunyi.
Ujian
simulasi ini telah disesuaikan jadwalnya dengan ujian nasional, begitu pula
aturan-aturannya, hari pertama ini adalah ujian Bahasa Indonesia dan
Matematika. Aku membaca dengan cepat soal-soal yang tertulis di sana, mengerjakan
apa yang aku anggap bisa terlebih dahulu dan berusaha berpikir dengan cepat.
Tak ada yang aku pikirkan saat ini kecuali ujian nasional, soal-soal yang harus
ku selesaikan dan kelulusan,
1
jam berlalu. Aku berhenti sejenak di no.56,membaca ulang soal dan memutar otak
lebih keras lagi. Ada yang membuatku bingung dari soal majas tersebut, tapi
akhirnya metafora masuk dalam daftar jawabanku. Aku beralih ke nomor lain dan
kembali memutar otak lebih keras.
Akhirnya
ketika waktu tinggal 10 menit, hampir semua soal telah aku jawab. Aku
meregangkan otot-otot badanku sebentar,kemudian kembali menyelesaikan kewajibanku.
Dan bel berbunyi tanda waktu tinggal 5 menit lagi. Aku segera menyelesaikan 1
nomor yang masih kosong, kemudian 3 menit terakhir kugunakan untuk meneliti
jawaban.
“
Baiklah,waktu habis. Silahkan letakkan jawaban dalam keadaan terbalik dan soal
boleh dibawa pulang “,sang guru penjaga memberitahu kami dan saat bel terakhir
berbunyi 2 kali,dengung puluhan siswa membludak.
Aku
segera keluar dari ruangan itu,mengambil tas kemudian menuju loker. Andira yang
sudah keluar lebih dulu,sengaja menungguku untuk pulang bareng, tentu saja
dengan berbagai pertanyaan yang sudah kutebak sebelumnya. Seperti kebiasaannya
setiap selesai ujian ataupun ulangan, Andira dengan bangganya akan menanyaiku
berbagai macam pertanyaan yang berkaitan dengan ujian tadi. Seperti kali ini,
ketika akhirnya aku menutup loker ia mulai membombardirku dengan berbagai
pertanyaan, “ Gimana tadi??”
“
Apanya??”, aku pura-pura bingung.
“
Yah, kau ini Sya…jelas aja ujiannya lah,emang apalagi?!”
“
Oh,ya…gitu deh”,jawabku asal. Aku terbiasa dengan pertanyaan Andira itu dan tak
ada salahnya sekali-kali membuatnya kesal. Mendengar jawabanku itu ia
mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya ke depan. Aku tertawa dan
akhirnya mengalah. Mengerjai teman apa salahnya??!
Ting
–tong
Aku
bergegas, mengambil tas dan melenggang pergi. Andira berdiri di depan rumahku
memakai jaket biru dan jeansnya. Membawa tas sepertiku, tapi isinya pasti bukan
hanya buku melainkan ada kamera dan buku catatan kecil yang selalu dibawanya
saat melakukan wawancara.
Sebenarnya
aku ingin menolak ajakannya untuk melakukan wawancara masyarakat sekitar
tentang Ujian Nasional, mengingat besok masih ada simulasi ujian. Tapi ketika
ada tawaran mengasyikkan yang sengaja diberikan Andira agar aku mau
menemaninya, akhirnya aku luluh juga.
“
Kau mau mulai darimana?”, tanyaku.
Heran
melihatku yang bersemangat, Andira menatapku sekilas, mungkin memastikan apakah
benar aku atau bukan, kemudian mengeluarkan semacam buku catatan kecil yang aku
tahu itu buku wawancaranya, membacanya sebentar lalu mengangguk.
“
Dari kompleks dekat sekolah kurasa,ayo..”
Dan
di sinilah kami 20 menit kemudian, kompleks sekolahku yang tak pernah sepi. Lapangan dipenuhi oleh tonti dan marching
band, sementara aula diisi oleh klub olahraga. Dulu waktu kelas 2 aku sering
sekali berpanas-panasan di lapangan masuk dalam section pitch dan melakukan
display. Rasanya menyenangkan sekali waktu itu. Aku memandang ke arah lapangan,
adk-adik kelasku sedang melakukan display yang dulu pernah kulakukan saat lomba
nasional. Aku tersenyum sendiri. Meski hanya setahun merasakan hal itu, tapi mengingat
masalalu kadang membuat berpikir ‘kenapa sudah kelas 3’. Namun mengingat
masalalu tak jarang pula membuatku ingin cepat-cepat lulus dari sekolah ini.
Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan pada Andira yang sejak tadi asyik
mewawancarai seorang penjual pulsa di depan sekolahku.
Kadang
aku ingin tertawa sendiri melihat tekhnik
wawancara Andira. Meski tak sering tapi 3 kali dengan hari ini cukup
membuatku tahu gaya wawancara Andira yang menurutku terkesan lucu. Dari awal
tadi wawancara dimulai hingga 20 menit berlalu pertanyaan yang berkaitan dengan
topik baru sekali ia singgung, lainnya ia justru bertanaya tentang personal ID
sang narasumber.
“Ini
mau wawancara atau kenalan sih..??!!”, batinku.
Setelah
30 menit berlalu akhirnya ia menyelesaikan wawancaranya, itupun karena aku memberinya
isyarat injakan kaki. Sang mas narasumber-yang aku lupa siapa namanya-melambai
pada kami saat akhinya kami keluar dari counternya yang sempit. Aku tak ingin
berkomentar apa-apa sementara Andira sibuk mengecek list wawancaranya.
“Mas
penjual pulsa, Pak Rudiyam,Bu kantin atas,Bu kantin bawah…”,ia terus saja
mengoceh sampai kami melewati gerbang sekolah dan aku bisa melihat dengan
sangat jelas ia di sana.
Mungkin
kalau aku tak ingat sedang bersama si-pencari-berita mungkin aku sudah ke
sana,pura-pura mencari sesuatu yang tertinggal dan akhirnya aku akan duduk di
sana, mengobrol dengannya.
‘BODOH!!!’,jerit
batinku. Aku menepuk pipiku tanpa diketahui Andira. Seketika aku sadar apa yang
baru saja kulalukan,membayangkan dia?! Kupikir ada yang benar-benar salah
dariku. Kami membelok di tangga dan sesaat sebelumnya bisa kulihat ia
mengangkat wajahnya dari buku yang dibawanya.
Akibat
kejadian tadi aku tak lagi mampu mengikuti seluruh rangkaian acara wawancara
Andira bahkan aku lupa menangih janji menggiurkannya akan membelikan buku
terbaru yang sedang menjadi incaranku sebulan ini. Sampai di rumah aku langsung
masuk kamar, menguncinya rapat-rapat dan buru-buru mengambil diary-ku.
Kutumpahkan semuanya di sana hingga aku lelah menulis.
“Ada
yang berubah dariku? Ada yang berbeda dariku? Hanya saja aku tak mampu
menjawabnya karena ku tak tahu apa jawabnya…”
Paginya
untunglah aku tak terlambat bangun. Andira sudah membantuku bangun sejak kelas
3 ini. Ia selalu meneleponku saat adzan Subuh baru saja terdengar sehungga aku
bisa belajar pagi,jadi sekarang aku mulai terbiasa dengan pola itu. Sambil
membenarkan dasi abu-abuku aku melirik jadwal yang kubuat dengan bentuk
kupu-kupu,’masih sehari lagi kalau aku berhasil melewati hari ini’,pikirku. Aku
bernapas lega dan mempersiapkan mentalku selama semenit. Ini cara jitu yang
kudapatkan dari Andira, yang awalnya kupikir sangat aneh dan buang-buang waktu,
tapi ternyata setelah di coba lumayan juga hasilnya. Aku berdiri di depan kaca,
melirik dasiku sekilas kemudian mengamati wajahku yang tersenyum balik padaku.
Seperti yang kulakukan kemarin,ku kepalkan tangan, kuambil napas dalam-dalam,
dan tiba-tiba aku berteriak sangat keras,”AKU PASTI BISA HARI INI,AKU BISA HARI
INI,AKU BISA HARI INI!!!” dan ‘cessSS’
seperti ada es batu yang rubuh menimpaku, aku merasa sangat nyaman dan
optimis. Aku tersenyum sekilas sebelum akhirnya akau keluar dari kamar.
Aku
mulai terbiasa dengan suasana yang kulihat pagi ini. Semua anak duduk di depan
ruangan ujian masing-masing, membawa buku mereka dan sibuk berkomat-kamit ria.
Aku menemukan Andira di tempat kemarin kami duduk, masih membawa kameranya dan
masih pula sibuk memfoto ria. Hanya saja kali ku tahu ia sedang menuliskan list
kira-kira siapa saja teman-temannya yang akan masuk dalam daftar mnu wawancaranya.
Aku tak menanggapi ya dan memilih untuk belajar sampai akhirnya bel tanda masuk
berbunyi.
Tak
ada yang berbeda dengan kemarin kecuali guru jaganya. Aku masih duduk di
belakang Kurnia dan di belakangku ada Lucky yang kutahu selalu ribut mendekati
menit-menit terakhir ujian berakhir. Aku masih saja bingung antara a atau b
atau c atau d saat menemukan soal yang sulit dan Andira masih saja menanyakan
pertanyaan-peranyaan yang sama saat kami telah keluar dari ruang ujian,meski
kali ini dan hari-hari berikutnya aku tak menanggapinya lagi. Aku masih saja
menyukai tertawa dan bahagia juga aku masih saja menanyakan apa yang terjadi
padaku pada diriku sendiri. Ya..sebenarnya apa yang terjadi padaku
minggu-minggu ini??
Aku
baru saja keluar dari kantin ketika Dino-ketua marching band tahun angkatanku
berjalan kearahku sambil membawa sebuah proposal.
“Sya…aku
butuh bantuanmu”,jelasnya.
“Bantuan
apa?”,tanyaku heran. Selama aku jadi anggota marching, setahuku baru 2 kali
Dino meminta bantuanku, itupun sangat tidak membanggakan, aku hanya disuruh
mencopy partitur lagu untuk 5 orang anggota yang tak berangkat. Hanya itu dan
pikirku kali ini aku akan dimintai tolong untuk mencopy proposal yang
dibawanya.
“Ada
proposal dari adik kelas untuk acara perpisahan besok, kau mau ikut?”,
tanyanya.
Aku
memandangnya heran dan tersenyum, “Mungkin…,kau ikut?”
“Ha-ha-ha-ha…”,Dino
tertawa,” Tentu saja aku ikut, kau ini aneh sekali…”,ia melanjutkan tawanya
sambil melambai padaku.
Aku
tersenyum pada kebodohanku sendiri.
“Dorr!!!”,
Andira menepuk bahuku sambil tertawa. Ia sudah kembali dari perpustakaan dengan
2 buku di tangannya.
“Apa
itu??”, tanyaku.
“Buku..”,Andira
menjawab seenaknya.
Aku
membuang muka dan Andira segera mencegahku sambil tertawa,”Hanya satu di dunia
ini yang membuatku tertarik ke perpus….novel”
Aku
tertawa samar. Andira selama ini yang kukenal ternyata belum sepenuhnya ku
kenal. Kami kembali ke kelas dan itu membuat Andira langsung berkutat dengan 2
novelnya,sementara aku hanya duduk tanpa melakukan apa-apa.
Saat
itulah aku melihatnya. Dia baru saja masuk ke kelasku saat aku menyadari itu
benar-benar dia. Hampir saja aku berteriak memanggilnya agar aku dapat bicara
dengannya,sebelum aku sadar aku ada di ruang kelas. Kulirik Andira yang masih
asyik membaca novelnya dan aku kembai memandangnya. Ia berjalan ke arahku. Aku
mulai gugup. Ia tersenyum dan dengan sangat canggung ku balas senyumnya,entah
ia mengetahuinya atau tidak,aku tak peduli. Ia sudah hampir dekat dengan mejaku
sekarang.
‘Sekarang
waktunya…’,pikirku,’…sapa dia dulu dengan wajar…’. Aku memejamkan mata untuk
menghilangkan kegugupanku dan ketika kubuka mata……ia hilang. Geragapan kau
mencarinya dan akhirnya menemukan ia tengah bicara dengan Sinta di meja di
sebelahku. Aku dongkol tapi kahirnya menghela napas pasrah yang sepertinya
disadari Andira.
“Kenapa???”,tanyanya
mengagetkanku.
“Ah-eh…apanya??Em-tidak…gak
ada apa-apa kok…”,jawabku gugup.
“Oh-kukira,,,,oh
sudahlah..”
“Ya..”,aku
menanggapi sekenanya dan berharap bel segera berbunyi.
Dari
sudut mataku bisa kulihat ia akrab sekali dengan Sinta-gadis populer yang
termasuk dalam kandidat calon bintang sebuah production house. Aku menghela
napas panjang dan meletakkan kepalaku di antara kedua tanganku. Sekali lagi aku
harus bertanya,’Apa yang terjadi padaku??’. Ada desir-desir aneh tadi yang
menelusup dalam diriku saat melihatnya, tapi sekarang desir-desir aneh yang
membuatku nyaman tiba-tiba saja telah berganti dengan sebongkah bola api yang
entah darimana asalnya. Aku membenamkan wajahku, mencoba mengusir hawa tak
mengenakkan ini. Dan sedetik kemudian aku merasakan tangan Andira mengguncang
badanku.
“Kenapa
sih??!”,tanyaku.
Dengan
wajah seolah tak melakukan apa-apa Andira menatapku”,Kau tak tidur rupanya..”
“Tentu
saja memangnya aku ini tukang tidur apa??!!”,jawabku ketus.
“Maaf..kukira
tadi kamu tidur, jadi waktu Angga kesini tadi ia hanya titip pesan”,jelas
Andira yang membuatku tersentak.
‘Apa
Angga tadi kesini??!!’,batinku menjerit,’Dan Andira pikir aku sedang
tidur???!!!!!!!!’
“Baiklah…”,aku
mencoba menutupi kekagetannku yang bercampur dengan penyesalan.
“Apanya??”,Andira
bingung dengan tanggapanku.
“Tidak..”,nadaku
mulai pasrah dan aku baru saja akan kembali memposisikan diriku seperti tadi
ketika Andira menyadari ada yang berbeda dariku.
“Kau
kenapa sih?!”,tanya Andira mencegahku kembali keposisi tadi.
“Kenapa??
Aku nggak kenapa-kenapa kok…jadi apa pesannya?”,tanyaku sambil mengubah air
mukaku. Dalam hal ini aku yakin aku ahli menutupinya.
“Kau
disuruh menemuinya nanti pulang sekolah”,jelas Andira yang tampaknya masih ragu
dengan jawabanku atas pertanyaannya.
“Oh….baiklah,kau
mau menemaniku?”,ajakku.
Kali
ini raut wajah penasaran Andira tiba-tiba berubah,”Sebenarnya aku mau Sya…tapi
karena aku harus kumpul di redaksional dulu,bagaimana kalau kita pulang barenga
aja?”
“Oke…bukankah
kita biasanya juga pulang bareng ya…”
Andira
tertawa sambil meletakkan novelnya ketika bel berbunyi dan Bu Yenny masuk khas
dengan sapaannya. Setelah jam ini berakhir aku mulai gugup.
Bel
tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Andira mengingatkanku untuk menemuinya di
redaksional dan aku mengangguk saja,kemudian ia keluar dengan terburu-buru. Aku
sengaja memperlambat langkahku ketika akhirnya tak ada alasan lain bagiku untuk
tetap di kelas. Beberapa teman sekelasku melewatiku begitu saja setelah
sebelumnya menyapaku. Aku mengangguk pada mereka dan bertahan untuk berdiri
sejenak beberapa meter sebelum berbelok. Ya…,setelah belokan itu kelasnya dan
entah kenapa aku merasa sangat gugup.
“Hey…kau!”
Aku
tersentak dan berbalik. Di sana tak jauh dariku ia memanggilku. Aku semakin
gugup ketika melihatnya berjalan ke arahku. Sempat kulirik melalui sudut mataku
dan bernapas lega ketika tahu hanya ada aku di sana.
“A-aku…???”,tanyaku
sok jaim. Kadang di saat-saat seperti ini aku selalu bersikap sangat bodoh.
“Keisya
kan??”,tanyanya tak menanggapi kegugupan dalam suaraku.
Aku
mengangguk saja dan sedetik kemudian ia menyerahkan selembar kertas dengan kop
surat sekolah di bagian atasnya. Belum juga aku sempat membukanya untuk
membacanya lebih lanjut, dengan cepat ia sudah menjelaskan,”Minggu depan ada
study banding dari Medan, kau ditunjuk jadi salah satu dutanya..”
“Hah-aku??!!!”,tanyaku
heran.
Angga
mengangguk,”Sebenarnya Sinta yang ditunjuk tapi karena ia sedang sibuk dengan
persiapannya di PH, kau yang menggantikannya”
“Oh…”,ada
sedikit nada kecewa dalam suaraku yang coba kututupi. “Tapi kenapa harus anak
kelas XII?”,aku patut bangga dengan pertanyaanku ini, setidaknya aku tak
melontarkan pertanyaan bodoh di depannya.
“Itu
juga yang membuatku heran,tapi sudahlah toh hanya 2 hari. Tenang saja tak akan
menganggu waktu belajar kita…”,ia tersenyum memastikan.
“Kita?!”,ada
harapan melambung saat kutanyakan ini.
“Tentu
saja…kau akan bersamaku 2 hari itu,mungkin akan membuatmu bosan tapi tenang
saja aku bisa diandalkan”,ia tertawa kemudian pamit untuk pulang duluan, setelah
sebelumnya berjanji akan menelponku jika ada yang perlu dibahas lagi.
Aku
masih tertegun ditempat. Entah keajaiban apa yang tengah kudapat hari ini.
Buru-buru aku berlari menuju redaksional dan menemukan Andira yang terlihat
lebih cantik hari ini atau mataku kah yang tengah buta???
“An…”,bisikku
dari balik pintu redaksional. Andira yang kelihatannya tengah sibuk mengetik
sesuatu berbalik dan menyuruhku.
Selama
berteman dengan Andira aku berulangkali memasuki ruang redaksional yang
biasanya kuanggap terlalu sempit dan penuh dengan kertas dan artikel. Tapi entah
kenapa hari ini aku melihatnya sangat berbeda,kalau boleh jujur aku mulai
menyukai ruang redaksional yang sempit itu.
Andira
masih mengetik ketika aku masuk. Tampaknya ia sedang serius mengerjakan sesuatu
karena ia tak berkutik saat aku duduk di sebelahnya,ia hanya menggeser tasnya
dan membiarkan aku duduk di sana. Terpaksalah aku menunggunya sampai ia selesai
mengerjakan yang kutahu setelah beberapa menit duduk di sana sebagai artikel
tentang ujian nasional.
“Eh-Sya
mau makan dulu nggak??”,tanya Andira sambil mengunci pintu redaksional. “Aku
lapar nih…”,tambahnya.
“Emh-boleh,dimana?”,kesempatan
bagiku untuk menjelaskan pada Andira tentang mood-ku hari ini.
Akhirnya
tanpa banyak komentar aku menurut saja ketika Andira merekomendasikan makan di
warung penyetan depan sekolah. Aku mengambil sebuah meja dekat jendela yang
mengarah ke arah sekolah sementara Andira sibuk dengan sang penjual tentang
pesanan kami.beberapa menit kemudian baru ia duduk di depanku dengan nampan
besar berisi pesanan kami dan mulai melahap makanannya tanpa menungguku.
“Kau
sepertinya lapar sekali An..”,komentarku yang dibalasnya dengan
senyuman-penuh-makanan.
“Jadi
udah ketemu Angga tadi?”,tiba-tiba Andira menanyakan pertanyaan yang sejak tadi
ingin kuangkat sebagai topik pembiacaraan.
Perlu
usaha keras bagiku untuk menelan makananku sebelum akhirnya aku menjawab
pertanyaan Andira,”Yeah…”,aku mengangguk kemudian menyeruput es tehku.
“Lalu…?”
“Apanya?”
Andira
menggeser piringnya yang telah kosong dan menarik minumannya lebih dekat,”Jadi
ada perlu apa Si Mantan Ketua Osis itu denganmu?”
Nadanya
menyebut Angga sebagai mantan ketua Osis sedikit membuatku sebal,tapi akhirnya
kujawab juga pertanyaannya,”Aku ditunjuk sebagai duta sekolah di study banding
minggu depan…”,kemudian kutambahkan dengan nada yang kubuat agar bisa diartikan
sebagai sinyal ‘kecewa’,”…dengannya…”
“Wah,yang
benar Sya?! Keren!!!Aku bisa wawancara kamu dong…study banding yang dari Medan
itu kan?”,aku heran sendiri dengan respon Andira yang begitu ‘heboh’.
Aku
mengangguk saja atas pertanyaan Andira itu kemudian melanjutkan melahap
makananku, sementara Andira-gadis itu mulai sibuk dengan kerangka pertanyaan apa
yang akan diajukannya padaku nanti. Dan aku akhirnya memutuskan untuk tak
membawa Andira larut dalam apa-yang-sedang-terjadi-padaku.
Sampai
di rumah buru-buru aku mengunci kamar, mencharge baterai handphoneku dan
menyelesaikan semua tugas serta PR-ku untuk kemudian melihat time table tentang
jadwalku hari ini. Ada tambahan les di rumah Andira malam ini dan semua list
tugasku telah terselasaikan dengan baik,sehingga dengan senang hati kucoret
dengan spidol merah.
“Sya…jam
7 ada leskan?”,mama yang sedang mengecek barang pesanan mengingatkanku.
“Iya…’jawabku
dari dapur sambil membuka lemari makanan,berharap menemukan sedikit camilan
yang bisa kubawa ke rumah Andira malam ini.
Akhirnya
setelah menemukan sedikit camilan aku kembali ke kamar dan mengecek ulang apakah
baterai handphone-ku telah benar-benar penuh. Aku tak ingin saat Angga menelpon
nanti bateraiku low dan mengingat akan ada yang menelponku malam ini aku
benar-benar bersemangat. Kulirik jam dinding di dekat rak bukuku dan mengeluh
pelan ketika masih ada sekitar 3 jam lagi sebelum jam 7 malam. Akhirnya sambil
menunggu,kubuka buku ‘Meraih Potensi Diri’ pemberian Andira 3 bulan lalu dan
membacanya untuk yang ke-4 kalinya.